EVOLUSI KONSEP SUNNAH
IMPLIKASINYA PADA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Memasuki
periode moderen tampilan hukum islam semakin tenggelam dalam krisis yang
memperhatinkan. Gibb dalam hal ini menilai bahwa meskipun secara teoritik dan
menurut statmen para ahli, hukum islam adalah suatu sistem yang mencakup setiap
cabang dan aspek hubungan sosial, tetapi dalam prakteknya banyak sekali aspek
kehidupan masyarakat yang terabaikan.
Berbagai
alternatif konseptual maupun strategis diajukan dalam rangka menyelesaikan krisis
tersebut, salah satunya yg aling mendasar adalah seruan kembali kepada alquran
dan assunnah. Meskipun belum efektif.
Ini berarti bahwa kembali
kepada sunnah didalam rangka mengimplementasikan pesan-pesan moral dan legal.
Sementara
sunnah sedang ditegaskan kembali sebagai satu-satunya obat penawar krisis bagi
degenerasi moral intelektual dan sosial yang melanda dunia islam moderen,
bersama itu muncul tendensi skeptisme dan apatisme yang semakin menguat
penolakan terhadap eksistensi sunnah dan hadist.
Ada
dua perbedaan mengenai assunah antara fazhur Rahman dan muhammda Asad , yang
dimana fazhur rahman mnyatakan bahwa terdapat kecerendungan kuat dalam
masyarakat kita yangg dengan mengatasnamakan progresivisme bermaksud
mengesampingkan hadis dan sunnah nabi dengan harapan untuk membuka jalan.
Sedangkan Muhammad Asad
menganalisis bahwa alasan terkuat mengapa hadis-hadis nabi dan bersamaan dengan
struktur sunnah menjadi tidak populer sekarang. Begitu terang sunnah
bertentangn dengan ide-ide fundamental peradaban barat sehingga merewka
terpukau pada ide-ide peradaban barat tersebut sehingga mereka menggambarkan
sunnah sebagai satu aspek islam yg tidak relevan.
Ada
dua kesimpulan yang behadap-hadapan secara diametral dalam menilai assunah dari
penjelasan-penjelasan ini.
A. Rekontruksi Konsep Sunnah-hadis
- Konsep awal sunnah
Kajian
historis terhadap konsep sunnah para penulis barat yang berisikan penolakan
sebagaimana yg telah disimpulkan oleh Fazlur Rahman, adalah disebabkan mereka
menemukan tiga hal pokok dalam kajian historis yang mereka lakukan. Pertama
sbagian besar kandungan sunnah merupakan Kontinyuitas langsung dari adat Arab
pra islam. Kedua, bahwa sebagian besar kandungan sunnah adalah produktivitas
pemikiran-pemikiran bebas ijtihad para ahli hukum islam yg dimasukan
unsur-unsur luar kedalamnya. Ketiga ketika hadis menjadi gerakan massif dan
berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad ketiga hijriyah, seluruh
kandungan sunnah pada masa itu dikatakan bersumber dari nabi dibawah lindungan
konsep sunnah nabi. Selain mengapa para penulis Barat menolak bahwa sunnah Nabi
merpakan konsep yang operatif sejak awal adalah bahwa mereka tidak menemukan
term sunnat al rasul dalam literatul
awal. Dalam rangka menegaskan eksistensi sunnah nabi, Fazlur Rohman mengajukan data
historis yakni surat Hasan al-Basyri yg ditunjukan kepada 'Abd al-malik ibnu
Marwan,seorang penguasa Bani Umayyah dalam surat tersebut al-Basriy berbicara
tentang "Sunnah Nabi" dalam kaitanya dengan karsa bebas
manusia(qadar), walaupun ia menyatakan tidak ada tradisi formal dan verbal
tentangnya yang bersumber dari Nabi.
Rosul
melalui sunnahnya telah menetapkan aturan-aturan tertentu secara garis besar
sehingga memungkinkan untuk diadaptasikan diperluas dan diperinci lewat
penafsiran para sahabat. Rosululloh memberikan ruang gerak yg luas bagi yg
berbeda pendapat dengan memberikan perintah-perintah umum, bahkan dengan
mengabsahkan dua tindakan yg berbeda dalam satu sisi yg sama, mengingat masa
itu masa evolusi bagi suatu penciptaan pola pikkir untuk generasi yg akan
datang.
Setelah
Nabi wafat konsep sunnah tidak hanya mencakup sunnah dari nabi, tetapi juga
meliputi penafsiran-penafsiran terhadap sunnah dari nabi tersebut. Sebagai cermin dari kehidupan dan perilaku
nabi, perilaku dan pendapat para sahabat lambat laut dipandang sebagai panutan
bagi para generasi berikutnya dan diikuti orang lain sebagai teladan yang lebih
dekat kepada kehidupan ideal Nabi.
Sunnah
para sahabat dilandaskan pada peribadi mereka dan sunnah mereka ini diserap
dalam istilah sunnah pada masa-masa awal islam. Nurcholish madjid menggambarkan
tahap sunnah tersebut bahwa setelah Rosululloh saw. Wafat dan fungsi sebagai
kepada negara dan pemimpin masyarakat dilanjutkan oleh kholifah,
masalah-masalah hukum dan perkara pengaturan hubungan sosial politik berjalan
lancar dengan didasarkan pada ketentuan kitab suci jika ada dan kepada sunnah
dalam arti kebiasaan yg lazim dikala itu.
Sebagaimana
telah ditujukan sebelum ini bahwa perilaku Nabi sejak awal telah dipandang
sebagai konsep oleh para sahabat dan model perilaku bagi mereka. Logikanya
orang-orang disekitar sahabat barang tentu mempertanyakan pada mereka mengenai
tindakan-tindakan Nabi dalam berbagai persoalan.
- Arah Baru Perkembangan Konsep Sunnah
Mazhab-mazhab
hukum awal pada umumnya memandang praktek aktual masyarakat yang telah mapan
sebagai sunnah. Istilah sunnah tidak hanya dimaksudkan sebagai sunnah nabi
melainkan terkadang digunakan untuk menunjukan pada praktek masyarakat atau
praktek seseorang.
Untuk
mendapatkan gambaran yg lebih jelas mengenai hal ini kita harus tau apa itu
sunnah, istilah sunnah yg digunakan imam malik ibnu anas dalam karyanya
al-muwatta'. Bisa saya simpulkan bahwa imam malik tidak hanya mendasarkan pada
sunnah Nabi untuk beragument dalam masalah-masalah legal, akan tetapi ia juga
mendasarkan pada tradisi yang hidup dimasa lalu maupun dimasanya. Dan biasa
disebut qad madat al-sunnah,.. al sunnah
'indana..al sunnat allati la ikhtilafa 'inadana...,al-amr al-mujtama' 'alayh
'indana dan al-amr allazi la ikhtilafa fihi 'indana.
Dalam
sebuah riwayatnya, malik mengutip sebuah hadis Nabi yg menyatakan bahwa Nabi
menjamin hak syuf'ah. Malik menyatakan "ini merupakan sunnah yang telah
kita sepakati". Kemudian malik melanjutkan bahwa ahli hukum kenamaan Sa'id
ibnu al-Musayyab suatu ketika ditanya"adakah sunnah mengenai syuf'ah? Sa'id
menjawab "ya,tetapi syuf'ah hanya berlaku untuk rumah dan tanah. Jadi bisa
saya simpulkan dari pernyataan itu bahwa sunnah tidak bisa diartikan sebagai
preseden yg bersifat otoritatif dan normatif, yakni sunnah nabi.
Timbulah pertanyaan dari
pernyataan-pernyataan diatas mengapa para ahli hukum awal merujuk tidak hanya
pada sunnah nabi melainkan juga praktek masyarakat muslim. Untuk menjawab
masalah ini barangkali teori Fazhir Rahman tentang hubungan organis antara
konsep sunnah-ijtihad-ijma' menarik untuk dikedepankan.
Generasi-generasi
muslim pada awal sejarah islam khususnya para hakim, ahli-ahli hukum, teoritis
dan para politis telah berusha menjabarkan dan menafsirkan sunnah nabi demi
kepentingan kaum muslimin pada waktu itu. Penjabaran-penjabaran ini disebut
sunnah dengan praktek yang telah disepakati bersama atau sunnah yg hidup.
Dengan demikian terdapat dua substansi yang bersatu dalam sunnah yang hidup
yaitu sunnah atau teladan Nabi dan penafsiran kreatif generasi-generasi muslim
awal.
Instrumen
yang digunakan oleh generasi muslim awal sehingga dapat semakin berkembang
menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia
adalah aktivitas pemikiran bebas secara peribadi dan bertanggung jawab yang
disebut ra'y.
Akan tetapi disisi lain, produktivitas
ijtihad personal tersebut,karena sangat akomodatif bahkan kental dengan
warna-warna lokal,maka menjadi agak kacau.
Seperti
diduga, kegiatan ijtihad dengan ra'y dalam menjabarkan dan menafsirkan sunnah
Nabi jelas banyak melibatkan dan mempertaruhkan kemampuan intelektual. Hal ini
yang kemudian melahirkan masalah. Segi individualisme suatu kegiatan
intelektual selalu rawan terhadap ancaman subyektivisme. Tak heran apabila
tahap berikutnya pengandalan pada sunnah yang hidup yang lahir dan elaborasi
dan interprestasi secara kreatif terhadap sunnah Nabi harus dibayar mahal
dengan ancaman terjadinya keruwetan,ketidakpastian dan suasana caotik akibat
subyektivisme dan sektarisme.
Perbedaan-perbeda'an
ijtihad dalam pencapaian sunnah yang hidup dan yang disepakati (ijma') memang
tampak dinamis dan demokratis. Akan tetapi disisi lainberdampak negatif bagi
stabilitasnya hukum pemerintahan.
Tekanan penting tradisi
verbal(al-riwayah) sebagai tahap perkembangan konsep tentang sunnah ini dapat
dibandang sebagai kelanjutan wajar dari kecerendungan masyarakat islam yang
telah ada kebiasaan menuturkan cerita atau laporan tentang nabi baik bekenaan
dengan apa yang beliau sabdakan (qawl),apa saja yg beliau
kerjakan(af'al),maupun apa yg beliau diamkan dan setujui(taqrir) sudah
dipraktikan kaum muslim sejak masa-masa awal. Meskipun ada dorongan batin yang
kuat untuk menjadikan bahan-bahan tentang Nabi itu sebagai rujukan, namun
penuturanya anekdot dari mulut kemulut.
Fakta
ini menunjukan bahwa adalah sikap yg membabi buta jika keseluruhan hadis
sebagaimana terkodifikasikan dalam kitab-kitab hadis dianggap sebagai shohih
secara keseluruhanya, karena hal itu berlawanan dengan fakta sejarah. Dan juga
sikap membabi buta jika keseluruhan hadis dianggap palsu, sebagaimana diklaim
oleh goldziher.
Imam syafi'I menyodorkan
paradigma baru bahwa yang harus dipegangi dan dijadikan praktek masyarakat
adalah sunnah yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai benar-benar berasal
dari Nabi melalui transmisi verbar (hadis) secara ekspilit menyatakan:
”Konsep Sunnah hanya mencakup Sunnah Nabi SAW. “
Tawaran imam syafi'I ini
belawanan dengan paradigma lama yang lebih menkankan pada sunnah yg hidup
secara aktual dalam tradisi praktikial masyarakat sebagai manifestasi ideal
sunnah Nabi.
Ahli
hukum sebelum imam syafi'I menyatakan bahwa tradis praktikial yang harus
diambil hanya dari madinah karena itu adalah warisan Nabi. Argumen orang-orang
madinah yg disimpulkan oleh imam syafi'I,telah melihat perilaku Rosululloh
dalam semua ragam keadaan kemudian oleh generasi berikutnya,mereka dianggap
sebagai bertindak menurut perilaku yg diteladankan rosul, sehingga pada
generasi ketiga, sunnah rosul dianggap mapan pada ummat. Atas dasar hipotesis
ini, maka lama kelamaan sunnah rosul menjadi semakin kelihatan bagi orang awam.
Dengan demikian praktek(transmisi praktikial)jauh lebih dapat diandalkan bagi
mereka dari pada rangkain riwayat(trnsmisi verbal) untuk mengetahui sunnah yg
sesungguhnya.
Teori ditentang oleh imam
syafi'i, bahkan ia mengajukan teori yang sebaliknya. Untuk menolak pandangan
mereka, imam syafi'I membuat kesimpulan bahwa mereka menetapkan sunnah atas dua
dasar. Pertama, apa yang sesuai dengan pendapat para sahabat dan kedua, apa
yang tidak melibatkan perbedaan pendapat dari orang banyak. Argumen ini lah yg
dianggap lemah oleh imam syafiiy.
Sebagai
gantinya imam syafi'I mengukuhkan kedudukan hadis sebagi khabar al wahid
menempatkan kedudukanya diposisi yg lebih tinggi.
Imam syafi'i memberikan
tawaran dengan maksud untuk menekan berkembangnya ra'y bebas yang tak
terkendelikan dan mengeliminir munculnya praktek" lokal yang cenderung
memacu proses disintegratif. Bahwa hadis itu sebagai sumber yg otoritatif.
Meletakan hadis diposisi yang paling tinggi diatas sunnah yg hidup (ijma') yang
memiliki hubungan organis dengan konsep ijtihad (ra'y) dan sunnah ideal Nabi.
Upaya
imam syafi'I tersebut memang sangat efektif. Buktinya muncul gerakan massif
untuk inventaris dan dokumentasi hadis melalui penelitian dan studi kritis
terhadapnya. Bentuk yg paling kongkrit adalah menculnya sarjana hadis kelahiran
Bukhoro yg dianggap otoritasnya paling tinggi yaitu Muhammad isma'il abu
'abdilah al-jufry al-bukhory (194-256 H). Kemudian dilanjutkan oleh sarjana
hadis dari Naisapur yaitu Abu al-Husain Muslim ibn Hajaj al-Qusyairiy
al-Nisburiy (202-261 H).
B. Beberapa Implikasi pada Perkembangan Hukum Islam
Dalam
item A dan B konsep sunnah telah mengalami evolusi yg cukup panjang sebelum ia
di identikan dengan hadis. Secara sistematik gambaranya seperti ini
Teladan Nabi
Praktek para sahabat
Penafsiran individual
Opinio Generalis
Opinio Publica (sunnah)
Formalisasi Sunnah (hadis)
Ketika
timbul gerakan hadis pada paruh kedua abad kedua Hijriyah sunnah telah
disepakati kebanyakan orang ini diexpresikan dalam hadis yang merupakan
verbalisasi sunnah sehingga pada tahap berikutnya sunnah menjadi identik dengan
hadis
Tesis fazlurrahman dibantah
oleh jalaludin Rakhmat dengan mengajukan tesis sebaliknya. Bahwa yang beredar
pertama kali di kaum muslimin adalah hadis bukan sunnah. Banyak yang menunjukan
perhatian para sahbat untuk menghafal ucapan-ucapan nabi ataumenyampaikan apa
yang dilakukan nabi saw. Bahkan ada yang menulis. Kondisi ini berubah saat
penghilangan hadis keengganan para sahabat untuk menulis hadis lagi.
Gambaran jalaludin rakhmat
secara sistematik
Teladan Nabi saw
Hadis
Gerakan penghilangan Hadis
Penafsiran individu ra'y
Opinio Generalis
Opinio publica (sunnah)
Formalisasi Sunnah (hadis)
Ketika
imperium islam berkembang sedemikian pesatnya dan masing" daerah berhasil
mengembangkan sunnah yg hidup(ijma')
Sehingga perbedaan didalam
praktek hukum menjadi semakin besar, maka hadis berkembang menjadi disiplin
formal. Belakangan setelah pereode imam syafi'iy hadis menempati posisi sentral
dalam sistem jurispendental.
Konsep
sunnah dan hukum tidak hanya mencakup sunnah nabi melainkan termasuk didalamnya
adalah praktek masyarakat yang menjadi cermin bagi sunnah Nabi. Secara Umum, segi positip dari konsep sunnah
yang seperti ini bagi perkembangan hukum islam adalah tingginya peran ro'y
dalam perumusan hukum islam dan terakomodasikanya muatan-muatan dan warna-warna
lokal, sehingga pada giliranya tampilan hukum islam menjadi sangat dinamis dan
kereatif. Contoh dalam hal 'aqilah. Baik tradisi kuffah maupun tradisi madinah
mengakui prinsip tanggung jawab kolektif untuk membayar denda dalam kasus
pembunuhan atau melukai artinya, denda atas kasus pembunuhan atau melukai
tidaklah ditangung oleh pelaku saja melainkan satu kelompok yg disebut aqilah.
Dalam
tradisi Madinah aqilah adalah orang-orang yang sekabilah dengan pelaku,
sedangkan dalam tradisi kufah aqilah adalah orang orang yang mempunyai
kepentingan sama dengan pelaku baik profesi maupun ketetanggaan.
Barang
kali kenyataaan-kenyataan yang seperti inilah sehingga mahmudunnasir
berkesimpulan bahwa sunnah didalam tahap permulaanya berwatak provosionalisme.
Akan tetapi disisi lain konsep sunnah yang seperti ini yakni menekankan kepada
sunnah yang hidup serta merupakan hasil interprestasi kreatif terhadap sunnah
ideal Nabi ternyata melahirkan kontroversi hukum yang dahsyat. Liberalisme ijtihad personal ini tidak hanya
melahirkan kontroversi-kontroversi antara madzhab tetapi juga melahirkan kontroversi-kontroversi
hukun intra mazhab.
Sunnah
dalam pandangan mazhab-mzhab hukum awal mencakup makna sunnah nabi dan praktek
masyarakat atau tradisi yg hidup sebagai hasil elaborasi dan interprestasi
secara kreatif terhadap sunnah nabi melalui mekanisme ra'y. Dan imam syafi'iy
memunculkan konsep sunnahnya untuk melatar belakangi perbeda'an-pebeda'an dibidang
hukum dan praktek peradilan.
Didalam kitab karyanya imam syafi'iy yaitu
ar-risalah dan al-Umm dapat disimpulkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai
dengan konsepnya adalah untuk mengeliminir atau minimal mereduksi perbedaan dan
pertentangan tersebut.
Pada
masa imam syafi'iy penggunaan ra'y secara liberal sebagai sarana ijtihad masih
berlangsung, sehingga diversitas praktek hukum diberbagai daerah, khususnya
irak dan madinah sangat tajam. Ia membawa konsep ra'y yang menonjolkan
penalaran pribadi kepada konsep qiyas,yakni analogi sistematis yang ketat.
Pemikiran hukum islam imam syafi'iy awalnya alquran,sunnah,ijtihad,ijma'
menjadi alquran,sunnah (dalam bentuk hadis)-ijma' (dalam bentuk qiyas.
Dengan
situasi yang seperti itu maka hadis menjadi berkembang, kepercayaan terhadap
hadis menjadi sangat besar dan pendokumentasian hadis menjadi gerakan massif.
Dalam kondisi ini kesempatan memalsukan hadis menjadi terbuka lebar, sebab
menciptakan hadis lebih mudah daripada menciptakan tradisi yg hidup. Implikasi
lainya adalah mandegnya proses pembentukan tradisi yang hidup secara total.
Formula-formula
yang ditawarkan al-syafi'iy tersebut juga berdampak pada menciutnya peran akal
dalam wacana dan perumusan hukum islam, terbukti dengan menurunya kebenarian
menafsirkan pesan-pesan alquran dan sunnah nabi secara rasional berdasarkan
kebutuhan hukum masyarakat,bahkan menurunya aktifitas intelektual secara umum
dalam diskursuskan hukum islam.
Apabila
diperhatinkan, evolusi konsep sunnah-hadis yang telah diuraikan tersebut dan
sejauh mana implikasinya bagi perkembangan hukum islam mengindikasikan adanya
sejumlah pasangan pilihan yang harus ditentukan baik oleh mazhab-mazhab hukum
awal maupun imam syafi'iy dan masing-masing pilihan tersebut turut menentukan
tampilan hukum islam selanjutnya.
Pasangan pilihan tersebut
diantaranya adalah pilihan keberagaman dan keseragaman. Pilihan selanjutnya
adalah antara stabilitas dan dinamika. Berikutnya adalah pilihan antara akal
dengan wahyu. Meskipun demikian harus ditegaskan bahwa imam syafi'iy dengan
konsep sunnahnya merupakan potret responsasi yang tepat terhadap tantangan
historisnya mengingat saat itu. praktek masyarakat khususnya menyangkut praktek
hukum mereka mengalami disparitas yang tajam satu sama lain.
Kejeniusan
imam syafi'iy, demikian fazlur Rahman mengomentari upaya imam syafi'iy, memang
berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan struktur
sosiorelegius kaum muslimin (termasuk hukum islam-pen) pada zaman pertengahan,
tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreatifitas dan orisinalitas
mereka.