Minggu, 30 Juni 2013

EVOLUSI KONSEP SUNNAH IMPLIKASINYA PADA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

EVOLUSI KONSEP SUNNAH   IMPLIKASINYA PADA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Memasuki periode moderen tampilan hukum islam semakin tenggelam dalam krisis yang memperhatinkan. Gibb dalam hal ini menilai bahwa meskipun secara teoritik dan menurut statmen para ahli, hukum islam adalah suatu sistem yang mencakup setiap cabang dan aspek hubungan sosial, tetapi dalam prakteknya banyak sekali aspek kehidupan masyarakat yang terabaikan.
Berbagai alternatif konseptual maupun strategis diajukan dalam rangka menyelesaikan krisis tersebut, salah satunya yg aling mendasar adalah seruan kembali kepada alquran dan assunnah. Meskipun belum efektif.
Ini berarti bahwa kembali kepada sunnah didalam rangka mengimplementasikan pesan-pesan moral dan legal.
Sementara sunnah sedang ditegaskan kembali sebagai satu-satunya obat penawar krisis bagi degenerasi moral intelektual dan sosial yang melanda dunia islam moderen, bersama itu muncul tendensi skeptisme dan apatisme yang semakin menguat penolakan terhadap eksistensi sunnah dan hadist.
Ada dua perbedaan mengenai assunah antara fazhur Rahman dan muhammda Asad , yang dimana fazhur rahman mnyatakan bahwa terdapat kecerendungan kuat dalam masyarakat kita yangg dengan mengatasnamakan progresivisme bermaksud mengesampingkan hadis dan sunnah nabi dengan harapan untuk membuka jalan.
Sedangkan Muhammad Asad menganalisis bahwa alasan terkuat mengapa hadis-hadis nabi dan bersamaan dengan struktur sunnah menjadi tidak populer sekarang. Begitu terang sunnah bertentangn dengan ide-ide fundamental peradaban barat sehingga merewka terpukau pada ide-ide peradaban barat tersebut sehingga mereka menggambarkan sunnah sebagai satu aspek islam yg tidak relevan.
Ada dua kesimpulan yang behadap-hadapan secara diametral dalam menilai assunah dari penjelasan-penjelasan ini.
A. Rekontruksi Konsep Sunnah-hadis
  1. Konsep awal sunnah
Kajian historis terhadap konsep sunnah para penulis barat yang berisikan penolakan sebagaimana yg telah disimpulkan oleh Fazlur Rahman, adalah disebabkan mereka menemukan tiga hal pokok dalam kajian historis yang mereka lakukan. Pertama sbagian besar kandungan sunnah merupakan Kontinyuitas langsung dari adat Arab pra islam. Kedua, bahwa sebagian besar kandungan sunnah adalah produktivitas pemikiran-pemikiran bebas ijtihad para ahli hukum islam yg dimasukan unsur-unsur luar kedalamnya. Ketiga ketika hadis menjadi gerakan massif dan berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad ketiga hijriyah, seluruh kandungan sunnah pada masa itu dikatakan bersumber dari nabi dibawah lindungan konsep sunnah nabi. Selain mengapa para penulis Barat menolak bahwa sunnah Nabi merpakan konsep yang operatif sejak awal adalah bahwa mereka tidak menemukan term sunnat al rasul dalam literatul awal. Dalam rangka menegaskan eksistensi sunnah nabi, Fazlur Rohman mengajukan data historis yakni surat Hasan al-Basyri yg ditunjukan kepada 'Abd al-malik ibnu Marwan,seorang penguasa Bani Umayyah dalam surat tersebut al-Basriy berbicara tentang "Sunnah Nabi" dalam kaitanya dengan karsa bebas manusia(qadar), walaupun ia menyatakan tidak ada tradisi formal dan verbal tentangnya yang bersumber dari Nabi.

Rosul melalui sunnahnya telah menetapkan aturan-aturan tertentu secara garis besar sehingga memungkinkan untuk diadaptasikan diperluas dan diperinci lewat penafsiran para sahabat. Rosululloh memberikan ruang gerak yg luas bagi yg berbeda pendapat dengan memberikan perintah-perintah umum, bahkan dengan mengabsahkan dua tindakan yg berbeda dalam satu sisi yg sama, mengingat masa itu masa evolusi bagi suatu penciptaan pola pikkir untuk generasi yg akan datang. 
Setelah Nabi wafat konsep sunnah tidak hanya mencakup sunnah dari nabi, tetapi juga meliputi penafsiran-penafsiran terhadap sunnah dari nabi tersebut.  Sebagai cermin dari kehidupan dan perilaku nabi, perilaku dan pendapat para sahabat lambat laut dipandang sebagai panutan bagi para generasi berikutnya dan diikuti orang lain sebagai teladan yang lebih dekat kepada kehidupan ideal Nabi.
Sunnah para sahabat dilandaskan pada peribadi mereka dan sunnah mereka ini diserap dalam istilah sunnah pada masa-masa awal islam. Nurcholish madjid menggambarkan tahap sunnah tersebut bahwa setelah Rosululloh saw. Wafat dan fungsi sebagai kepada negara dan pemimpin masyarakat dilanjutkan oleh kholifah, masalah-masalah hukum dan perkara pengaturan hubungan sosial politik berjalan lancar dengan didasarkan pada ketentuan kitab suci jika ada dan kepada sunnah dalam arti kebiasaan yg lazim dikala itu.
Sebagaimana telah ditujukan sebelum ini bahwa perilaku Nabi sejak awal telah dipandang sebagai konsep oleh para sahabat dan model perilaku bagi mereka. Logikanya orang-orang disekitar sahabat barang tentu mempertanyakan pada mereka mengenai tindakan-tindakan Nabi dalam berbagai persoalan.
  1. Arah Baru Perkembangan Konsep Sunnah
Mazhab-mazhab hukum awal pada umumnya memandang praktek aktual masyarakat yang telah mapan sebagai sunnah. Istilah sunnah tidak hanya dimaksudkan sebagai sunnah nabi melainkan terkadang digunakan untuk menunjukan pada praktek masyarakat atau praktek seseorang.
Untuk mendapatkan gambaran yg lebih jelas mengenai hal ini kita harus tau apa itu sunnah, istilah sunnah yg digunakan imam malik ibnu anas dalam karyanya al-muwatta'. Bisa saya simpulkan bahwa imam malik tidak hanya mendasarkan pada sunnah Nabi untuk beragument dalam masalah-masalah legal, akan tetapi ia juga mendasarkan pada tradisi yang hidup dimasa lalu maupun dimasanya. Dan biasa disebut qad madat al-sunnah,.. al sunnah 'indana..al sunnat allati la ikhtilafa 'inadana...,al-amr al-mujtama' 'alayh 'indana dan al-amr allazi la ikhtilafa fihi 'indana.
Dalam sebuah riwayatnya, malik mengutip sebuah hadis Nabi yg menyatakan bahwa Nabi menjamin hak syuf'ah. Malik menyatakan "ini merupakan sunnah yang telah kita sepakati". Kemudian malik melanjutkan bahwa ahli hukum kenamaan Sa'id ibnu al-Musayyab suatu ketika ditanya"adakah sunnah mengenai syuf'ah? Sa'id menjawab "ya,tetapi syuf'ah hanya berlaku untuk rumah dan tanah. Jadi bisa saya simpulkan dari pernyataan itu bahwa sunnah tidak bisa diartikan sebagai preseden yg bersifat otoritatif dan normatif, yakni sunnah nabi.
Timbulah pertanyaan dari pernyataan-pernyataan diatas mengapa para ahli hukum awal merujuk tidak hanya pada sunnah nabi melainkan juga praktek masyarakat muslim. Untuk menjawab masalah ini barangkali teori Fazhir Rahman tentang hubungan organis antara konsep sunnah-ijtihad-ijma' menarik untuk dikedepankan.
Generasi-generasi muslim pada awal sejarah islam khususnya para hakim, ahli-ahli hukum, teoritis dan para politis telah berusha menjabarkan dan menafsirkan sunnah nabi demi kepentingan kaum muslimin pada waktu itu. Penjabaran-penjabaran ini disebut sunnah dengan praktek yang telah disepakati bersama atau sunnah yg hidup. Dengan demikian terdapat dua substansi yang bersatu dalam sunnah yang hidup yaitu sunnah atau teladan Nabi dan penafsiran kreatif generasi-generasi muslim awal.
Instrumen yang digunakan oleh generasi muslim awal sehingga dapat semakin berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia adalah aktivitas pemikiran bebas secara peribadi dan bertanggung jawab yang disebut ra'y.
Akan tetapi disisi lain, produktivitas ijtihad personal tersebut,karena sangat akomodatif bahkan kental dengan warna-warna lokal,maka menjadi agak kacau.
Seperti diduga, kegiatan ijtihad dengan ra'y dalam menjabarkan dan menafsirkan sunnah Nabi jelas banyak melibatkan dan mempertaruhkan kemampuan intelektual. Hal ini yang kemudian melahirkan masalah. Segi individualisme suatu kegiatan intelektual selalu rawan terhadap ancaman subyektivisme. Tak heran apabila tahap berikutnya pengandalan pada sunnah yang hidup yang lahir dan elaborasi dan interprestasi secara kreatif terhadap sunnah Nabi harus dibayar mahal dengan ancaman terjadinya keruwetan,ketidakpastian dan suasana caotik akibat subyektivisme dan sektarisme.
Perbedaan-perbeda'an ijtihad dalam pencapaian sunnah yang hidup dan yang disepakati (ijma') memang tampak dinamis dan demokratis. Akan tetapi disisi lainberdampak negatif bagi stabilitasnya hukum pemerintahan.
Tekanan penting tradisi verbal(al-riwayah) sebagai tahap perkembangan konsep tentang sunnah ini dapat dibandang sebagai kelanjutan wajar dari kecerendungan masyarakat islam yang telah ada kebiasaan menuturkan cerita atau laporan tentang nabi baik bekenaan dengan apa yang beliau sabdakan (qawl),apa saja yg beliau kerjakan(af'al),maupun apa yg beliau diamkan dan setujui(taqrir) sudah dipraktikan kaum muslim sejak masa-masa awal. Meskipun ada dorongan batin yang kuat untuk menjadikan bahan-bahan tentang Nabi itu sebagai rujukan, namun penuturanya anekdot dari mulut kemulut.
Fakta ini menunjukan bahwa adalah sikap yg membabi buta jika keseluruhan hadis sebagaimana terkodifikasikan dalam kitab-kitab hadis dianggap sebagai shohih secara keseluruhanya, karena hal itu berlawanan dengan fakta sejarah. Dan juga sikap membabi buta jika keseluruhan hadis dianggap palsu, sebagaimana diklaim oleh goldziher.
Imam syafi'I menyodorkan paradigma baru bahwa yang harus dipegangi dan dijadikan praktek masyarakat adalah sunnah yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai benar-benar berasal dari Nabi melalui transmisi verbar (hadis) secara ekspilit menyatakan:
”Konsep Sunnah hanya mencakup Sunnah Nabi SAW.
Tawaran imam syafi'I ini belawanan dengan paradigma lama yang lebih menkankan pada sunnah yg hidup secara aktual dalam tradisi praktikial masyarakat sebagai manifestasi ideal sunnah Nabi.
Ahli hukum sebelum imam syafi'I menyatakan bahwa tradis praktikial yang harus diambil hanya dari madinah karena itu adalah warisan Nabi. Argumen orang-orang madinah yg disimpulkan oleh imam syafi'I,telah melihat perilaku Rosululloh dalam semua ragam keadaan kemudian oleh generasi berikutnya,mereka dianggap sebagai bertindak menurut perilaku yg diteladankan rosul, sehingga pada generasi ketiga, sunnah rosul dianggap mapan pada ummat. Atas dasar hipotesis ini, maka lama kelamaan sunnah rosul menjadi semakin kelihatan bagi orang awam. Dengan demikian praktek(transmisi praktikial)jauh lebih dapat diandalkan bagi mereka dari pada rangkain riwayat(trnsmisi verbal) untuk mengetahui sunnah yg sesungguhnya.
Teori ditentang oleh imam syafi'i, bahkan ia mengajukan teori yang sebaliknya. Untuk menolak pandangan mereka, imam syafi'I membuat kesimpulan bahwa mereka menetapkan sunnah atas dua dasar. Pertama, apa yang sesuai dengan pendapat para sahabat dan kedua, apa yang tidak melibatkan perbedaan pendapat dari orang banyak. Argumen ini lah yg dianggap lemah oleh imam syafiiy.
Sebagai gantinya imam syafi'I mengukuhkan kedudukan hadis sebagi khabar al wahid menempatkan kedudukanya diposisi yg lebih tinggi.
Imam syafi'i memberikan tawaran dengan maksud untuk menekan berkembangnya ra'y bebas yang tak terkendelikan dan mengeliminir munculnya praktek" lokal yang cenderung memacu proses disintegratif. Bahwa hadis itu sebagai sumber yg otoritatif. Meletakan hadis diposisi yang paling tinggi diatas sunnah yg hidup (ijma') yang memiliki hubungan organis dengan konsep ijtihad (ra'y) dan sunnah ideal Nabi.
Upaya imam syafi'I tersebut memang sangat efektif. Buktinya muncul gerakan massif untuk inventaris dan dokumentasi hadis melalui penelitian dan studi kritis terhadapnya. Bentuk yg paling kongkrit adalah menculnya sarjana hadis kelahiran Bukhoro yg dianggap otoritasnya paling tinggi yaitu Muhammad isma'il abu 'abdilah al-jufry al-bukhory (194-256 H). Kemudian dilanjutkan oleh sarjana hadis dari Naisapur yaitu Abu al-Husain Muslim ibn Hajaj al-Qusyairiy al-Nisburiy (202-261 H).

B. Beberapa Implikasi pada Perkembangan Hukum Islam
Dalam item A dan B konsep sunnah telah mengalami evolusi yg cukup panjang sebelum ia di identikan dengan hadis. Secara sistematik gambaranya seperti ini
Teladan Nabi
Praktek para sahabat
Penafsiran individual
Opinio Generalis
Opinio Publica (sunnah)
Formalisasi Sunnah (hadis)

Ketika timbul gerakan hadis pada paruh kedua abad kedua Hijriyah sunnah telah disepakati kebanyakan orang ini diexpresikan dalam hadis yang merupakan verbalisasi sunnah sehingga pada tahap berikutnya sunnah menjadi identik dengan hadis
Tesis fazlurrahman dibantah oleh jalaludin Rakhmat dengan mengajukan tesis sebaliknya. Bahwa yang beredar pertama kali di kaum muslimin adalah hadis bukan sunnah. Banyak yang menunjukan perhatian para sahbat untuk menghafal ucapan-ucapan nabi ataumenyampaikan apa yang dilakukan nabi saw. Bahkan ada yang menulis. Kondisi ini berubah saat penghilangan hadis keengganan para sahabat untuk menulis hadis lagi.
Gambaran jalaludin rakhmat secara sistematik
Teladan Nabi saw
Hadis
Gerakan penghilangan Hadis
Penafsiran individu ra'y
Opinio Generalis
Opinio publica (sunnah)
Formalisasi Sunnah (hadis)

Ketika imperium islam berkembang sedemikian pesatnya dan masing" daerah berhasil mengembangkan sunnah yg hidup(ijma')
Sehingga perbedaan didalam praktek hukum menjadi semakin besar, maka hadis berkembang menjadi disiplin formal. Belakangan setelah pereode imam syafi'iy hadis menempati posisi sentral dalam sistem jurispendental.
Konsep sunnah dan hukum tidak hanya mencakup sunnah nabi melainkan termasuk didalamnya adalah praktek masyarakat yang menjadi cermin bagi sunnah Nabi.  Secara Umum, segi positip dari konsep sunnah yang seperti ini bagi perkembangan hukum islam adalah tingginya peran ro'y dalam perumusan hukum islam dan terakomodasikanya muatan-muatan dan warna-warna lokal, sehingga pada giliranya tampilan hukum islam menjadi sangat dinamis dan kereatif. Contoh dalam hal 'aqilah. Baik tradisi kuffah maupun tradisi madinah mengakui prinsip tanggung jawab kolektif untuk membayar denda dalam kasus pembunuhan atau melukai artinya, denda atas kasus pembunuhan atau melukai tidaklah ditangung oleh pelaku saja melainkan satu kelompok yg disebut aqilah.
Dalam tradisi Madinah aqilah adalah orang-orang yang sekabilah dengan pelaku, sedangkan dalam tradisi kufah aqilah adalah orang orang yang mempunyai kepentingan sama dengan pelaku baik profesi maupun ketetanggaan.
Barang kali kenyataaan-kenyataan yang seperti inilah sehingga mahmudunnasir berkesimpulan bahwa sunnah didalam tahap permulaanya berwatak provosionalisme. Akan tetapi disisi lain konsep sunnah yang seperti ini yakni menekankan kepada sunnah yang hidup serta merupakan hasil interprestasi kreatif terhadap sunnah ideal Nabi ternyata melahirkan kontroversi hukum yang dahsyat.  Liberalisme ijtihad personal ini tidak hanya melahirkan kontroversi-kontroversi antara madzhab tetapi juga melahirkan kontroversi-kontroversi hukun intra mazhab.
Sunnah dalam pandangan mazhab-mzhab hukum awal mencakup makna sunnah nabi dan praktek masyarakat atau tradisi yg hidup sebagai hasil elaborasi dan interprestasi secara kreatif terhadap sunnah nabi melalui mekanisme ra'y. Dan imam syafi'iy memunculkan konsep sunnahnya untuk melatar belakangi perbeda'an-pebeda'an dibidang hukum dan praktek peradilan.
 Didalam kitab karyanya imam syafi'iy yaitu ar-risalah dan al-Umm dapat disimpulkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dengan konsepnya adalah untuk mengeliminir atau minimal mereduksi perbedaan dan pertentangan tersebut.
Pada masa imam syafi'iy penggunaan ra'y secara liberal sebagai sarana ijtihad masih berlangsung, sehingga diversitas praktek hukum diberbagai daerah, khususnya irak dan madinah sangat tajam. Ia membawa konsep ra'y yang menonjolkan penalaran pribadi kepada konsep qiyas,yakni analogi sistematis yang ketat. Pemikiran hukum islam imam syafi'iy awalnya alquran,sunnah,ijtihad,ijma' menjadi alquran,sunnah (dalam bentuk hadis)-ijma' (dalam bentuk qiyas.
Dengan situasi yang seperti itu maka hadis menjadi berkembang, kepercayaan terhadap hadis menjadi sangat besar dan pendokumentasian hadis menjadi gerakan massif. Dalam kondisi ini kesempatan memalsukan hadis menjadi terbuka lebar, sebab menciptakan hadis lebih mudah daripada menciptakan tradisi yg hidup. Implikasi lainya adalah mandegnya proses pembentukan tradisi yang hidup secara total.
Formula-formula yang ditawarkan al-syafi'iy tersebut juga berdampak pada menciutnya peran akal dalam wacana dan perumusan hukum islam, terbukti dengan menurunya kebenarian menafsirkan pesan-pesan alquran dan sunnah nabi secara rasional berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat,bahkan menurunya aktifitas intelektual secara umum dalam diskursuskan hukum islam.
Apabila diperhatinkan, evolusi konsep sunnah-hadis yang telah diuraikan tersebut dan sejauh mana implikasinya bagi perkembangan hukum islam mengindikasikan adanya sejumlah pasangan pilihan yang harus ditentukan baik oleh mazhab-mazhab hukum awal maupun imam syafi'iy dan masing-masing pilihan tersebut turut menentukan tampilan hukum islam selanjutnya.
Pasangan pilihan tersebut diantaranya adalah pilihan keberagaman dan keseragaman. Pilihan selanjutnya adalah antara stabilitas dan dinamika. Berikutnya adalah pilihan antara akal dengan wahyu. Meskipun demikian harus ditegaskan bahwa imam syafi'iy dengan konsep sunnahnya merupakan potret responsasi yang tepat terhadap tantangan historisnya mengingat saat itu. praktek masyarakat khususnya menyangkut praktek hukum mereka mengalami disparitas yang tajam satu sama lain.
Kejeniusan imam syafi'iy, demikian fazlur Rahman mengomentari upaya imam syafi'iy, memang berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan struktur sosiorelegius kaum muslimin (termasuk hukum islam-pen) pada zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreatifitas dan orisinalitas mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar